Senin, 09 April 2012
Mengenai manfaat beras, melanjutkan pemaparan dari Prof. Dr. Ir. Rindit Pambayun, M.P. seorang guru besar Ilmu Pangan Universitas Sriwijaya dalam artikelnya bahwa dalam metabolism karbohidrat, tanpa adanya vitamin B1 sebagai koenzim tiamin pirofosfat (TPP), pembentukan energy tidak sempurna. Meskipun mengkonsumsi sumber karbohidrat cukup, secara kuantitas makan beras membuat tubuh kenyang, tetapi alat pembongkarnya hingga menghasilkan energy tidak mencukupi. Akibatnya, energy tubuh dalam bentuk ATP (adenosine tri fosfat) menjadi kurang, tubuh menjadi loyo, malas berfikir, bawaan ngantyuk, syaraf tidak bekerja dengan baik. Melihat keadaan ini, hampir kebanyakan bangsa Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin mengalami kekurangan vitamin B1.
(Sumber: Champagne, 2004)
Ada argumentasi, vitamin B1 kan bisa disuplai dari makanan lain atau. Ingat, sekali lagi, sumber vitamin B1 adalah serealia, kamir, dan daging babi. Makanan lain bisa jadi mengandung vitamin B1, tetapi bukan merupakan sumber. Makan dengan lauk bervariasi yang lengkap, bisa mensuplai vitamin B1. Tetapi, menu makanan itu hanya dipunyai oleh sebagian kecil bangsa ini. Bagaimana dengan sebagian besar bangsa ini. Secara argumentative, mereka kekurangan vitamin ini, dan hidup dalam kondisi tidak optimal energinya. Penelitian singarimbun (1989) mengisyaratkan bahwa daya gerak orang Indonesia termasuk paling rendah di antara bangsa-bangsa di dunia. Kenyataan, jangan harap sepak bola kita bisa menjadi juara tanpa memperhatikan makanannya terutama yang berhubungan dengan suplai energi tubuh. Argument lain, kekurangan vitamin B1 bisa diatasi dengan cara meminum tablet vitamin B setiap hari. Boleh jadi ini jalan keluar, tetapi siapa yang akan tahan setiap hari harus “nguntal” pil vitamin B1? Sedemikian penting, keberadaan zat gizi dalam beras yang telah lengkap dari ”sononya” terutama keberadaan vitamin B1 harus menjadi perhatian serius.
Beberapa Negara telah sangat memperhatikan tentang keadaan ini. India, sudah jauh-jauh hari membuat beras parboil (disteam sebelum digiling). Beras demikian, endospermnya mengalami gelatinisasi membentuk perekat, sehingga lapisan kulit ari tetap menempel meskipun padi digiling. Negara lain seperti China, membuat beras premix dengan mengambalikan vitamin B1 yang telah hilang, dan ada yang mencoba menfortifikasinya. Yang lebih bijaksana adalah, melakukan proses penggilingan dengan bijak dan mencuci beras mencuci dengan benar di tingkat masyarakat.
Kendalanya, pengetahuan pangan masyarakat masih rendah. Mereka tidak suka beras yang masih ada kulit arinya karena cepat basi. Kalau mencucui tidak dikosek juga cepat basi. Ketahuilah, dalam ilmu pangan, semua yang bergizi pasti disukai oleh mikroorganisme, sehingga mudah basi. Tetapi bukan berarti kita menyerah dengan cara “bodoh”, mengilangkan nutrisi hanya mencari solusi menghindari cepat basi. Yang benar adalah zat gizi dipertahankan, cepat basi diatasi. Bukankah sekarang ada rice cooker? Atau memasak nasi sesuai porsi, sehingga tidak harus menyimpan dalam tempo relative lama.
Yang dikemukakan di sini adalah bentuk perhatian yang harus segera dipecahkan oleh pembuat kebijakan negeri ini. Saya ingin sekali membicarakan tentang kualitas beras pasca panen dan selama penyimpanan untuk menjaga kualitas. Tentang aflatoksin tidak kalah penting untuk dibicarakan, karena hamper sebagian besar masyarakat bangsa ini tidak memperhatikannya. Dunia luar sudah sangat care terhadap aflatoksin, sampai larangan dinaikkan persyaratannya menjadi ppb (part per billion), bukan lagi ppm (part mer million). Mengapa? Karena beras sangat riskan ditumbuhi Aspergillus flavus, jamur penghasil aflatoksin jika penyimpanannya dilakukan dalam kondisi tikak peduli aw(water activity, bukan kadar airnya).
Jadi bagaimana kualitas beras seharusnya? Jujur saja, jika disadari, kualitas akan jauh lebih penting dari pada memikirkan kuantitasnya. Sumatera Selatan jangan hanya menjadi lumbung pangan, tetapi lumbung pangan berkualitas, yang akan menjadi prototype seluruh propinsi di Indonesia. Memikirkan kuantitas tanpa memikirkan kualitas makanan pokok suatu bangsa, sama dengan “menggebiri” diri sendiri dengan hidup tanpa kreativitas, kurang gerak, tidak inovatif, dan pemalas. (Renungan diawal tahun 2011 yang harus dijadikan sebagai awal kebangkitan kepedulian pangan nasional, demi kemajuan bangsa).
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
Block
Enter Block content here...
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam pharetra, tellus sit amet congue vulputate, nisi erat iaculis nibh, vitae feugiat sapien ante eget mauris.
0 komentar:
Posting Komentar